Prolog
Cikampek, Jawa Barat
Seorang lelaki muda
melesat di antara pemukiman penduduk yang padat. Tubuhnya tinggi besar, tampak
menjulang di antara rumah tipe sangat sederhana dan lahan bercocok tanam sempit
milik warga. Pekatnya malam tak menghalangi usaha untuk melarikan diri. Tak
sekalipun ia tersandung atau jatuh. Jelas sekali bahwa ia mengenal kawasan
tersebut – setiap belokan, jalan buntu, maupun celah yang bisa membawanya
selamat dari kejaran polisi.
Suara
letusan pistol melesat ke udara. Tembakan peringatan itu tak digubris. Si
lelaki tak memperlambat gerakan, bahkan semakin gesit memperlebar jarak antara
dirinya dengan para petugas. Suara derap kaki membayang-bayangi di belakangnya.
Sesekali ia bisa mendengar perintah yang meminta warga agar tetap tenang dan
berlindung di rumah masing-masing.
“Persetan!”
umpatnya sambil terus berlari.
Lelaki
itu membuang ransel di punggungnya. Gerakannya sekarang menjadi lebih lincah.
Jangkauan larinya semakin jauh dan dia tak bisa dihentikan.
Lagi-lagi
suara letusan pistol!
Kali
ini kakinya yang jadi sasaran meskipun masih luput dari tembakan. Lelaki itu
mengambil gerakan berbelok dan menghilang di balik sebuah gudang kosong.
Kawasan ini lebih gelap karena jauh dari cahaya bohlam perumahan penduduk. Di
balik gudang tersebut ada sepetak hutan kecil yang menghubungkannya dengan ruas
jalan tol. Biasanya anak-anak kampung ini terbiasa mengamati laju mobil yang
melintas dari tempat tersebut. Posisinya lebih tinggi dari ruas jalan,
membentuk semacam bukit kecil yang terus menurun hingga ke daerah beraspal.
Tanpa
ragu ia menyusuri hutan yang dimaksud. Hanya sekejap saja waktu yang dibutuhkan
untuk menuruni bukit dan berada di sisi jalan. Sementara itu para polisi belum
juga lelah membuntuti.
Lelaki itu mengawasi
jalanan. Otaknya berputar cepat. Ia harus bisa menyeberang jalan agar bisa
selamat. Di sisi lain jalan tol ini ada perkampungan yang juga dikenalnya,
tempat ia biasa menyembunyikan paket sebelum dipaketkan kembali. Kalau berhasil
mencapai tempat tersebut ia pasti akan selamat. Teman-temannya tak akan segan
melindungi. Dari sana ia akan menghubungi bos dan menjelaskan situasinya.
Sebuah
mobil melesat dengan kecepatan tinggi, bersamaan dengan kedatangan polisi di
puncak bukit.
“Sekarang,
atau tidak sama sekali,” ujar lelaki itu.
Tanpa
berpikir panjang ia berlari menerobos jalan tol. Ia berhasil mencapai pembatas
jalan, merasa bangga karenanya, dan kembali bersiap melakukan aksi serupa.
Tersisa sepuluh meter, ia menerka.
Laki-laki
itu menoleh ke belakang. Para polisi yang mengejarnya tak berkutik. Ia
menyeringai penuh kemenangan.
“Orang-orang
bodoh!” umpatnya dengan pongah.
Lelaki
itu mengambil ancang-ancang. Tinggal sedikit lagi jarak yang harus ditempuhnya
sebelum bisa benar-benar bebas. Yakin bahwa jalanan kosong, ia pun berlari.