Senandung Bisu
Suara
itu terdengar lagi!
Petikan dawai gitar yang beriringan dengan senandung halus seorang pria.
Petikan dawai gitar yang beriringan dengan senandung halus seorang pria.
Lagu apa yang kaumainkan hari ini, Teman? Aku menyimak dalam diam, di antara desir air yang mengalir membasahi perabotan kotor, bersamaan dengan gemericik air mancur yang tak pernah diam. Denting kisahmu tidak pernah terdengar sementara irama yang kaumainkan bukanlah konsumsi orang kebanyakan. Apakah semua melodi itu lahir dari kedalaman batinmu? Mengapa begitu romantis sekaligus menitikkan rasa tak senang? Seakan kesedihan menyelimuti setiap nada yang kaumainkan dan putus asa menjadi dinding-dindingnya?
Ah…,
tiga bulan lamanya aku menempati rumah tua ini namun tak pernah jumpa dengan
dirimu! Benteng rumahmu terlalu tinggi. Terlalu rapat. Hanya jendela kecil di
ketinggian sana yang menyambungkan duniamu dengan ragaku, membuatku mampu
menikmati setiap alunan nada kala sore beranjak damai di taman belakang. Atau
seperti sekarang, manakala pagi menuntutku ramai dengan wajan dan kompor. Ya,
hanya dapur dan taman belakang rumahku yang selalu bertemu dengan kamarmu,
menuliskan banyak kisah antara komponis dan penggemar rahasianya!
“Belum
selesai?”
“Ssshh….!” Kuhentikan pertanyaan itu
dengan segera. Kakakku Nony mengenakan seragam kantornya, kemeja biru langit berbalut blazer dan rok selutut.
“Kau
bisa terlambat sekolah, Vera!” desis Nony tak sabar.
“Sebentar
lagi,” aku berujar, “Lagunya hampir selesai."
“Kalau memang suka dengan semua
lagunya, mengapa nggak kaudatangi
saja dia ke rumah belakang? Kau ajak kenalan!
Jangan diam-diam naksir seperti ini!”
“Ah…,
aku malu,Kak,” sahutku tersipu. “Dia akan tahu kalau aku jatuh cinta padanya.”
Nony menggelengkan kepala,
tak habis pikir dengan tingkah polahku yang ganjil.
“Vera…, Vera…! Kau
benar-benar aneh! Mana ada perempuan jatuh cinta pada pria
tanpa sosok? Selama ini kau hanya mengenal permainan gitarnya. Dan vibrasi di
kerongkongan laki-laki itu. Kau bahkan nggak pernah mendengar dia bicara. Nggak pernah lihat wajahnya. Kau nggak tahu apakah dia tinggi, pendek, putih, atau
hitam. Kau nggak yakin dia sudah punya pacar atau belum. Kau bahkan belum tentu bisa
mengenalinya kalau berpapasan di jalan. Mana bisa kaubilang sudah jatuh cinta?
Apakah laki-laki nyata di dunia ini sudah sedemikian langka, hingga
kautumpahkan rasa pada pria yang nggak ada?”
“Dia
ada, Kak,” aku bersikukuh. “Lagu-lagunya menawarkan cinta. Dan itu
sudah cukup buatku.”
Nony
mengibaskan tangannya dan berbalik pergi. Dia pasti kesal karena adik kesayangannya ini tak pernah berubah. Sejak kecil hingga sekarang aku senang berkhayal, memimpikan cinta sejati akan datang dalam lagu dan puisi - seperti yang kubaca di buku-buku dongeng. Usiaku 17 tahun, tapi aku tak tahu caranya mendekati pria. Kata Nony aku terlalu pemalu. Dan
tertutup. Mana ada pria yang mau mendekati perempuan sedingin batu? Nony bilang aku harus lebih membuka diri. Aku harus tampil percaya diri. Jangan sampai
kecantikanku termakan usia dan aku jadi perawan tua.
Ah…, Kak Nony mengada-ada!
Aku
tak sekaku itu! Juga tak sekeras batu!
###
Di
suatu hari berangin, kuputuskan untuk mengambil inisiatif. Kak Nony benar, pria itu
tinggal di belakang rumah. Tak ada salahnya jika aku sekedar melihat-lihat,
siapa tahu bertemu muka dengan muka.
Di
ujung jalan yang berbatu, langkahku terhenti. Sebuah mobil ambulans meluncur
cepat ditingkahi suara sirine yang meraung-raung.
Seseorang
sakit? Atau meninggal?
Tak
ada seorang pun tetangga yang ikut mengantar.
Beginilah
wajah sebuah kota besar, dimana semua peristiwa tersembunyi rapat di antara
batu-batu padat. Manakala semua kisah hanya dimiliki secara pribadi dan bukan
‘tuk diumbar. Semangat gotong royong yang katanya membudaya hanya tinggal
serpihan kecil yang masih bertahan di sudut-sudut desa. Sementara modernitas
perkotaan menggerusnya hingga tak bermakna.
Ah…,
semoga siapapun tetanggaku yang tengah mengalami musibah, mendapat kekuatan
Tuhan! Hanya doa yang bisa kuselipkan saat mobil ambulans itu menderu menjauh.
Setelahnya,
sepi di sepanjang jalan yang tersisa. Tak tampak manusia manapun yang
beraktivitas di luar rumah. Hanya pagar-pagar tinggi bersemak yang memenuhi
pemandangan mata. Satu atau dua kali
gonggongan anjing memenuhi udara senyap. Sisanya, kembali hening. Telingaku
mencari-cari petikan senar gitar. Atau sebuah gumam kecil. Tapi sia-sia.
Kawasan itu menyerupai mati. Tak ada kehidupan yang bisa kujumpai disana.
Rumah-rumah besar dan
tinggi, di manakah kausembunyikan sang pelipur hati?
Sisa hari itu semakin dingin. Angin yang
kubenci menyesah tubuh hingga aku tak kuat lagi. Kuambil mantel yang paling
tebal sambil menunggu senja, berharap bisa mendengar alunan nada sang kekasih
sekali lagi – sebelum mata menghadap peraduan malam. Namun senja pun berlalu
tanpa pamit. Hingga gelap menyambut, suara yang kurindukan tak pernah
terdengar.
Engkau di mana, Teman?
Tidakkah kaumainkan gitar kesayanganmu? Tak adakah gumam yang bisa kautitipkan
untuk menjadi pendamping tidurku malam ini? Mengapa kau membisu?
Kulongok jendela kecil yang
ada di atas sana. Gelap! Kamarmu tak berpenghuni. Kurasa kau tengah pergi.
Atau jangan-jangan…, ambulans
tadi membawa dirimu serta di dalamnya?
Engkaukah yang kudoakan hari
ini? Sakitkah engkau? Atau…, tak bernyawa lagi?
Tiba-tiba hatiku dicengkeram
rasa takut yang bertubi-tubi. Kudaraskan doa sebanyak yang kubisa, berharap
Tuhan mau sedikit berbelas kasih.
Berikan kesembuhan pada
kekasihku, Tuhan! Jangan biarkan maut menjemputnya sekarang! Ingin sekali
kutatap wajah itu sekali saja, paras yang senantiasa mengusik ketenangan
batinku dengan lagu-lagunya. Kalau Kauambil dia sekarang, kesempatanku pun
pupus sudah! Hatiku patah sebelum berkait. Cintaku kandas sebelum berlabuh.
###
Di hari yang lain matahari
bersikap lebih ramah. Kehangatannya menerpa pagi. Para ibu membimbing bayi
mereka menjelang sinarnya. Seketika jalan di depan rumahku ramai oleh kegaduhan
bercerita dan berkelakar.
"Neng Diana! Ayo, sini! Kita ngegosip."
Aku tertawa dan bergabung bersama para ibu muda. Bermain bersama bayi-bayi mereka selalu terasa menyenangkan.
Tengah asyik bercengkerama,
seorang lelaki menyeruak di antara kerumunan. Ia meniti jalanan berbatu dengan
tongkat kayu di sebelah kiri.
“Kasihan orang itu, Nak,” seorang
ibu mulai berbisik. “Dia kecelakaan tahun lalu dan kakinya harus diamputasi. Dan minggu lalu…,” sang ibu sengaja
menahan ceritanya – membumbui informasi dengan ketegangan, “Dia mencoba bunuh
diri dengan meminum cairan pembersih kamar mandi. Masih untung nyawanya bisa
selamat!”
Lelaki berambut sebahu,
dengan tubuh tegap namun tertatih-tatih. Tatapannya sayu tanpa energi. Kulit
putihnya bermandikan cahaya mentari. Bukan sebelah kaki yang hilang yang
membuatku terenyuh, namun semangat yang patah lah yang menerbitkan simpati.
Siapapun dia, seharusnya jangan pernah kehilangan asa. Penyakit maupun
ketidaksempurnaan fisik tak boleh jadi alasan ‘tuk merajuk dan bermanja.
“Padahal dulu dia terkenal,” bisik si ibu lagi. “Beberapa jingle iklan pernah dinyanyikannya.
Selain sebagai penyiar radio, ia juga anggota band lokal. Malah kabarnya, sudah punya grup fans sendiri. Tapi kecelakaan mengubah segalanya. Dia jadi frustrasi. Kasihan.”
Aku menyimak isi pembicaraan
dengan hati berdebar.
Itu dia! Tak mungkin salah
lagi! Lelaki itulah sang komponis! Lagu-lagunya memberitahuku lebih banyak
tentang kehilangan dan duka. Senandung bisu tanpa lirik bagaikan lautan sesal
berkepanjangan yang mengubur jiwa hingga tak berdaya.
Kesedihannya selama ini tak lagi mampu tergambar dalam kata-kata. Hanya nada.
Hanya senandung. Senandung bisu yang setiap hari dibaginya bersamaku tanpa
sengaja.
Mungkin sekaranglah
kesempatan satu-satunya untuk menemui sang kekasih.
Kuperhatikan langkah pria
itu kian menjauh, siap berbelok dan menghilang di ujung jalan. Kalau kukejar
sekarang, pasti masih bisa bertemu! Masalahnya, benarkah keberanianku sebesar
itu? Tak tertahan malunya aku kalau lelaki itu sampai menolak. Bagaimana kalau
dia marah? Atau menganggapku pengganggu? Aku akan kehilangan kesenangan
mendengarkan suaranya lagi. Hari-hariku di taman belakang pasti berubah sunyi.
Aku pasti patah hati!
Tapi….?
Tanpa pertimbangan aku pun
berlari. Kubiarkan kedua kakiku mengejar lelaki yang selama ini menggugah
hatiku dengan senandungnya. “Kamu!” panggilku dari balik punggungnya.
Pria itu pun berbalik. Kelesek
sandal jepit yang beradu dengan kerikil membuatku menahan napas. Perlahan ia
menampakkan wajahnya sementara aku merekamnya dalam ingatan. Paras inilah yang
teramat kurindukan dalam setiap khayal, kuimpikan dalam setiap lamunan.
Nyatanya pria ini bukanlah sosok imajiner yang bermain-main dalam pikiran. Ia
hadir di hadapanku, menatap, menunggu apa yang hendak kukatakan.
“Iya, kamu!” ujarku lantang.
“Jangan pernah mengaku kalah pada nasib buruk! Bergeraklah! Lakukan sesuatu!
Maka kau akan melihat bahwa masalahmu ini tak lebih dari setengah kekuatan yang
kaupunya.”
Dahi itu berkerut namun
mulutnya terkatup – tak menampik.
Kuhembuskan napas panjang
dan berbalik. Sebelum berlari menjauh aku berkata, “Ngomong-ngomong, aku suka dengan semua lagumu. Akan menjadi lebih
merdu kalau itu bukanlah senandung bisu.”
Hari yang cerah bermandikan
cahaya mentari. Kutemui sang kekasih hati lewat sebuah langkah berani. Perjumpaan
hari ini menjadi awal bagiku untuk menemukannya lebih dekat. Mungkin cintaku
takkan cukup membuatnya sembuh. Tak apalah. Aku hanya berharap dia menemukan
sedikit penghiburan di antara semua penat, menemukan secuil udara segar di
antara beragam sesak. Apa yang kukatakan tadi, semoga diingatnya.
Sore
hari itu tak berangin. Udara hangat masih menyelimuti taman belakang.
Kunantikan hadirnya sebuah senandung, seperti biasa. Namun dawai gitar itu tak
bergetar. Tak ada lagi senandung bisu. Sebagai gantinya, seseorang berseru dari
atas sana, melalui daun jendela yang terbuka.
“Hai,
kamu!”
Aku mendongak.
Mata beradu dengan mata. Ini
kedua kalinya kami saling tatap.
“Sudah kuduga kamu tinggal
disini,” ia berujar.
Tak ramah. Biarlah.
“Selalu menjadi pendengar
setiaku?”
Aku mengangguk. Harap-harap
cemas.
“Kupersembahkan lagu ini
untukmu!” ujarnya kemudian. “Sebagai ucapan terima kasih.”
Aku
pun tersenyum.
Petikan
dawai gitar beriringan dengan senandung halus seorang pria. Kali ini tidak lagi
bisu. Liriknya bisa kudengar. Begitu manis. Begitu nyata. Seperti
kehadiranmu yang juga nyata mengisi hari-hariku.
Bandung, 9 September 2015
Laurentia Mira
No comments:
Post a Comment