Wednesday, 9 September 2015

Cerpen : Senandung Bisu

Senandung Bisu


Suara itu terdengar lagi!
Petikan dawai gitar yang beriringan dengan senandung halus seorang pria.

         Lagu apa yang kaumainkan hari ini, Teman? Aku menyimak dalam diam, di antara desir air yang mengalir membasahi perabotan kotor, bersamaan dengan gemericik air mancur yang tak pernah diam. Denting kisahmu tidak pernah terdengar sementara irama yang kaumainkan bukanlah konsumsi orang kebanyakan. Apakah semua melodi itu lahir dari kedalaman batinmu? Mengapa begitu romantis sekaligus menitikkan rasa tak senang? Seakan kesedihan menyelimuti setiap nada yang kaumainkan dan putus asa menjadi dinding-dindingnya?
        Ah…, tiga bulan lamanya aku menempati rumah tua ini namun tak pernah jumpa dengan dirimu! Benteng rumahmu terlalu tinggi. Terlalu rapat. Hanya jendela kecil di ketinggian sana yang menyambungkan duniamu dengan ragaku, membuatku mampu menikmati setiap alunan nada kala sore beranjak damai di taman belakang. Atau seperti sekarang, manakala pagi menuntutku ramai dengan wajan dan kompor. Ya, hanya dapur dan taman belakang rumahku yang selalu bertemu dengan kamarmu, menuliskan banyak kisah antara komponis dan penggemar rahasianya!
            “Belum selesai?”
        “Ssshh….!” Kuhentikan pertanyaan itu dengan segera. Kakakku Nony mengenakan seragam kantornya, kemeja biru langit berbalut blazer dan rok selutut.
            “Kau bisa terlambat sekolah, Vera!” desis Nony tak sabar.
            “Sebentar lagi,” aku berujar, “Lagunya hampir selesai."
           “Kalau memang suka dengan semua lagunya, mengapa nggak kaudatangi saja dia ke rumah belakang? Kau ajak kenalan! Jangan diam-diam naksir seperti ini!”
          “Ah…, aku malu,Kak,” sahutku tersipu. “Dia akan tahu kalau aku jatuh cinta padanya.”
Nony menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan tingkah polahku yang ganjil.
“Vera…, Vera…! Kau benar-benar aneh! Mana ada perempuan jatuh cinta pada pria tanpa sosok? Selama ini kau hanya mengenal permainan gitarnya. Dan vibrasi di kerongkongan laki-laki itu. Kau bahkan nggak pernah mendengar dia bicara. Nggak pernah lihat wajahnya. Kau nggak tahu apakah dia tinggi, pendek, putih, atau hitam. Kau nggak yakin dia sudah punya pacar atau belum. Kau bahkan belum tentu bisa mengenalinya kalau berpapasan di jalan. Mana bisa kaubilang sudah jatuh cinta? Apakah laki-laki nyata di dunia ini sudah sedemikian langka, hingga kautumpahkan rasa pada pria yang nggak ada?”
        “Dia ada, Kak,” aku bersikukuh. “Lagu-lagunya menawarkan cinta. Dan itu sudah cukup buatku.”
        Nony mengibaskan tangannya dan berbalik pergi. Dia pasti kesal karena adik kesayangannya ini tak pernah berubah. Sejak kecil hingga sekarang aku senang berkhayal, memimpikan cinta sejati akan datang dalam lagu dan puisi - seperti yang kubaca di buku-buku dongeng. Usiaku 17 tahun, tapi aku tak tahu caranya mendekati pria. Kata Nony aku terlalu pemalu. Dan tertutup. Mana ada pria yang mau mendekati perempuan sedingin batu? Nony bilang aku harus lebih membuka diri. Aku harus tampil percaya diri. Jangan sampai kecantikanku termakan usia dan aku jadi perawan tua.
      Ah…, Kak Nony mengada-ada!
            Aku tak sekaku itu! Juga tak sekeras batu!

###

       Di suatu hari berangin, kuputuskan untuk mengambil inisiatif. Kak Nony benar, pria itu tinggal di belakang rumah. Tak ada salahnya jika aku sekedar melihat-lihat, siapa tahu bertemu muka dengan muka.
            Di ujung jalan yang berbatu, langkahku terhenti. Sebuah mobil ambulans meluncur cepat ditingkahi suara sirine yang meraung-raung.
            Seseorang sakit? Atau meninggal?
            Tak ada seorang pun tetangga yang ikut mengantar.
            Beginilah wajah sebuah kota besar, dimana semua peristiwa tersembunyi rapat di antara batu-batu padat. Manakala semua kisah hanya dimiliki secara pribadi dan bukan ‘tuk diumbar. Semangat gotong royong yang katanya membudaya hanya tinggal serpihan kecil yang masih bertahan di sudut-sudut desa. Sementara modernitas perkotaan menggerusnya hingga tak bermakna.
            Ah…, semoga siapapun tetanggaku yang tengah mengalami musibah, mendapat kekuatan Tuhan! Hanya doa yang bisa kuselipkan saat mobil ambulans itu menderu menjauh.
            Setelahnya, sepi di sepanjang jalan yang tersisa. Tak tampak manusia manapun yang beraktivitas di luar rumah. Hanya pagar-pagar tinggi bersemak yang memenuhi pemandangan mata.  Satu atau dua kali gonggongan anjing memenuhi udara senyap. Sisanya, kembali hening. Telingaku mencari-cari petikan senar gitar. Atau sebuah gumam kecil. Tapi sia-sia. Kawasan itu menyerupai mati. Tak ada kehidupan yang bisa kujumpai disana.
             Rumah-rumah besar dan tinggi, di manakah kausembunyikan sang pelipur hati?
         Sisa hari itu semakin dingin. Angin yang kubenci menyesah tubuh hingga aku tak kuat lagi. Kuambil mantel yang paling tebal sambil menunggu senja, berharap bisa mendengar alunan nada sang kekasih sekali lagi – sebelum mata menghadap peraduan malam. Namun senja pun berlalu tanpa pamit. Hingga gelap menyambut, suara yang kurindukan tak pernah terdengar.
             Engkau di mana, Teman? Tidakkah kaumainkan gitar kesayanganmu? Tak adakah gumam yang bisa kautitipkan untuk menjadi pendamping tidurku malam ini? Mengapa kau membisu?
          Kulongok jendela kecil yang ada di atas sana. Gelap! Kamarmu tak berpenghuni. Kurasa kau tengah pergi.
             Atau jangan-jangan…, ambulans tadi membawa dirimu serta di dalamnya?
            Engkaukah yang kudoakan hari ini? Sakitkah engkau? Atau…, tak bernyawa lagi?
           Tiba-tiba hatiku dicengkeram rasa takut yang bertubi-tubi. Kudaraskan doa sebanyak yang kubisa, berharap Tuhan mau sedikit berbelas kasih.
        Berikan kesembuhan pada kekasihku, Tuhan! Jangan biarkan maut menjemputnya sekarang! Ingin sekali kutatap wajah itu sekali saja, paras yang senantiasa mengusik ketenangan batinku dengan lagu-lagunya. Kalau Kauambil dia sekarang, kesempatanku pun pupus sudah! Hatiku patah sebelum berkait. Cintaku kandas sebelum berlabuh.
###


           Di hari yang lain matahari bersikap lebih ramah. Kehangatannya menerpa pagi. Para ibu membimbing bayi mereka menjelang sinarnya. Seketika jalan di depan rumahku ramai oleh kegaduhan bercerita dan berkelakar. 
            "Neng Diana! Ayo, sini! Kita ngegosip."
         Aku tertawa dan bergabung bersama para ibu muda. Bermain bersama bayi-bayi mereka selalu terasa menyenangkan. 
         Tengah asyik bercengkerama, seorang lelaki menyeruak di antara kerumunan. Ia meniti jalanan berbatu dengan tongkat kayu di sebelah kiri.
           “Kasihan orang itu, Nak,” seorang ibu mulai berbisik. “Dia kecelakaan tahun lalu dan kakinya harus diamputasi. Dan minggu lalu…,” sang ibu sengaja menahan ceritanya – membumbui informasi dengan ketegangan, “Dia mencoba bunuh diri dengan meminum cairan pembersih kamar mandi. Masih untung nyawanya bisa selamat!”
            Lelaki berambut sebahu, dengan tubuh tegap namun tertatih-tatih. Tatapannya sayu tanpa energi. Kulit putihnya bermandikan cahaya mentari. Bukan sebelah kaki yang hilang yang membuatku terenyuh, namun semangat yang patah lah yang menerbitkan simpati. Siapapun dia, seharusnya jangan pernah kehilangan asa. Penyakit maupun ketidaksempurnaan fisik tak boleh jadi alasan ‘tuk merajuk dan bermanja.
    “Padahal dulu dia terkenal,” bisik si ibu lagi. “Beberapa jingle iklan pernah dinyanyikannya. Selain sebagai penyiar radio, ia juga anggota band lokal. Malah kabarnya, sudah punya grup fans sendiri. Tapi kecelakaan mengubah segalanya. Dia jadi frustrasi. Kasihan.”
           Aku menyimak isi pembicaraan dengan hati berdebar.
    Itu dia! Tak mungkin salah lagi! Lelaki itulah sang komponis! Lagu-lagunya memberitahuku lebih banyak tentang kehilangan dan duka. Senandung bisu tanpa lirik bagaikan lautan sesal berkepanjangan yang mengubur jiwa hingga tak berdaya. Kesedihannya selama ini tak lagi mampu tergambar dalam kata-kata. Hanya nada. Hanya senandung. Senandung bisu yang setiap hari dibaginya bersamaku tanpa sengaja. 
           Mungkin sekaranglah kesempatan satu-satunya untuk menemui sang kekasih.
         Kuperhatikan langkah pria itu kian menjauh, siap berbelok dan menghilang di ujung jalan. Kalau kukejar sekarang, pasti masih bisa bertemu! Masalahnya, benarkah keberanianku sebesar itu? Tak tertahan malunya aku kalau lelaki itu sampai menolak. Bagaimana kalau dia marah? Atau menganggapku pengganggu? Aku akan kehilangan kesenangan mendengarkan suaranya lagi. Hari-hariku di taman belakang pasti berubah sunyi. Aku pasti patah hati!
           Tapi….?
        Tanpa pertimbangan aku pun berlari. Kubiarkan kedua kakiku mengejar lelaki yang selama ini menggugah hatiku dengan senandungnya. “Kamu!” panggilku dari balik punggungnya.
       Pria itu pun berbalik. Kelesek sandal jepit yang beradu dengan kerikil membuatku menahan napas. Perlahan ia menampakkan wajahnya sementara aku merekamnya dalam ingatan. Paras inilah yang teramat kurindukan dalam setiap khayal, kuimpikan dalam setiap lamunan. Nyatanya pria ini bukanlah sosok imajiner yang bermain-main dalam pikiran. Ia hadir di hadapanku, menatap, menunggu apa yang hendak kukatakan.
      “Iya, kamu!” ujarku lantang. “Jangan pernah mengaku kalah pada nasib buruk! Bergeraklah! Lakukan sesuatu! Maka kau akan melihat bahwa masalahmu ini tak lebih dari setengah kekuatan yang kaupunya.”
            Dahi itu berkerut namun mulutnya terkatup – tak menampik.
        Kuhembuskan napas panjang dan berbalik. Sebelum berlari menjauh aku berkata, “Ngomong-ngomong, aku suka dengan semua lagumu. Akan menjadi lebih merdu kalau itu bukanlah senandung bisu.”
        Hari yang cerah bermandikan cahaya mentari. Kutemui sang kekasih hati lewat sebuah langkah berani. Perjumpaan hari ini menjadi awal bagiku untuk menemukannya lebih dekat. Mungkin cintaku takkan cukup membuatnya sembuh. Tak apalah. Aku hanya berharap dia menemukan sedikit penghiburan di antara semua penat, menemukan secuil udara segar di antara beragam sesak. Apa yang kukatakan tadi, semoga diingatnya.
      Sore hari itu tak berangin. Udara hangat masih menyelimuti taman belakang. Kunantikan hadirnya sebuah senandung, seperti biasa. Namun dawai gitar itu tak bergetar. Tak ada lagi senandung bisu. Sebagai gantinya, seseorang berseru dari atas sana, melalui daun jendela yang terbuka.
            “Hai, kamu!”
            Aku mendongak.
           Mata beradu dengan mata. Ini kedua kalinya kami saling tatap.
           “Sudah kuduga kamu tinggal disini,” ia berujar.
           Tak ramah. Biarlah.
           “Selalu menjadi pendengar setiaku?”
           Aku mengangguk. Harap-harap cemas.
       “Kupersembahkan lagu ini untukmu!” ujarnya kemudian. “Sebagai ucapan terima kasih.”
            Aku pun tersenyum.
          Petikan dawai gitar beriringan dengan senandung halus seorang pria. Kali ini tidak lagi bisu. Liriknya bisa kudengar. Begitu manis. Begitu nyata. Seperti kehadiranmu yang juga nyata mengisi hari-hariku.
           
Bandung, 9 September 2015
Laurentia Mira

  

No comments:

Post a Comment