Thursday, 9 November 2017

Demi Anakku

Bagaimana kudeskripsikan sabar,
Pada hentak aktivitas
Yang kian hari kian padat,
Menolak untuk berhenti,
Menggugat tak pakai hati

Bagaimana kudeskripsikan cerdas,
Padahal nyata di depan mata
Kasat, sudah berurat
Tak bisa disangkal
Tak layak lagi ditolak

Bagaimana kudeskripsikan 'kamu'
Sejatinya, bagian dari diriku
Namun bukan 'aku' itu sendiri
Yang melesat bebas selayak mentari
Asalkan kuberikan padamu hartaku yang paling berarti:
Rasa percayaku
.
#cobaIngatkanArtiAnakBuatHidupku

Thursday, 29 December 2016


5 Detik yang Mematikan

Seorang temanku yang mantan pengguna 'drugs' pernah bilang kalau waktu paling menentukan buat seseorang terjerat atau bebas dari narkoba adalah pada 5 detik pertama sejak berkenalan dengan 'si penjual' . 5 detik itu paling berharga ; akankah seseorang menolak atau menerima tawaran untuk mencoba si benda laknat. 

Kalau 'drugs' berujung pada kematian, maka bentuk-bentuk 'kejahatan terselubung di masyarakat' juga kurang lebih sama.

Ada yang pernah tertipu dengan selang gas yang dipasarkan ke rumah-rumah?
Atau tertipu karena membeli batik 'asli' Bali yang tahan api dan tidak bisa robek?

Dua hal itu penipuan skala kecil, yang mungkin jumlahnya nggak seberapa kalau dibandingkan 'gondok' nya. 

Lalu skala besarnya?

Pernah mengalami seorang teman mengajak kerjasama bisnis tapi berujung dengan permusuhan tanpa modal kembali? Alasannya sih bisa macam-macam. Tapi yang paling pasti, si teman akan menyalahkan kita atas kelalaian yang mungkin saja tidak kita lakukan. Atau yang kita lakukan, atas kebodohan kita tidak menyadari '5 Detik yang Mematikan' tiap kali mau ambil keputusan penting.

Atau pernah nggak mengalami tertipu oleh perusahaan multilevel? Atau juga perusahaan travel yang menawarkan keanggotaan klub berlibur? '5 Detik yang Mematikan' kita abaikan, terpesona oleh bujuk rayu si marketing, dan langsung tanda tangan kontrak tanpa paham sepenuhnya bahwa kewajiban kita lebih besar daripada benefit yang terasa.

'5 Detik yang Mematikan' juga ada pada seminar-seminar 'bodong' , yang menawarkan harapan palsu kesuksesan bisnis dengan mengajak kita membayar sejumlah uang untuk mengikuti workshop. Atau  pelatihan bisnis. Pelatihannya bisa saja memang ada. Pendampingannya bisa saja memang dilakukan tapi materinya tidak berguna. Uang jutaan hingga puluhan juta raib begitu saja tanpa bisa kita tuntut balik.

Oke...
Anggap saja semua itu kita lakukan buat 'buang sial'
Tapi Anda bisa bayangkan bahwa dunia sekejam ini yang akan menjadi tempat tinggal anak-anak kita? 

Ingat pembunuhan yang terjadi baru-baru ini?
'5 Detik yang Mematikan' berujung pada pembunuhan tragis. Padahal salah seorang korban masih bisa melakukan hubungan telepon.

Anak-anak kita berperang di medan pertempuran yang makin tak kasat mata. Semua bisa dengan mudah dibalut kemewahan, yang notabene memang menjadi konsumsinya anak-anak sekarang. 

Dan apa yang sudah kita lakukan untuk mempersenjatai mereka?
Bagaimana jika kita mengajarkan mereka untuk waspada? 
Bagaimana jika kita mengajarkan mereka untuk membaca situasi mencurigakan dan mencari jalan keluar sesegera mungkin? 
Bagaimana jika kita mengajarkan mereka cara menilai karakter seseorang?
Bagaimana jika kita mengajarkan mereka untuk kritis menilai, melakukan analisis informasi, sebelum akhirnya mengambil keputusan? 
Bagaimana jika kita mengajarkan mereka untuk bilang 'tidak' degan cara lihai dan segera pergi saat masih sempat? 
Bagaimana jika kita mengajarkan logika dan algoritma sebagai modal pemecahan masalahnya?

5 Detik yang Mematikan!
"Hanya itu waktu yang dibutuhkan seorang pecandu untuk kembali mencandu dan akhirnya tewas."
-Bro Sius-


Penulis adalah Laurentia Mira, seorang novelis hukum juga penggiat dunia anak-anak.

Thursday, 24 March 2016

Prolog buku The Resident

Prolog

Cikampek, Jawa Barat

Seorang lelaki muda melesat di antara pemukiman penduduk yang padat. Tubuhnya tinggi besar, tampak menjulang di antara rumah tipe sangat sederhana dan lahan bercocok tanam sempit milik warga. Pekatnya malam tak menghalangi usaha untuk melarikan diri. Tak sekalipun ia tersandung atau jatuh. Jelas sekali bahwa ia mengenal kawasan tersebut – setiap belokan, jalan buntu, maupun celah yang bisa membawanya selamat dari kejaran polisi. 
            Suara letusan pistol melesat ke udara. Tembakan peringatan itu tak digubris. Si lelaki tak memperlambat gerakan, bahkan semakin gesit memperlebar jarak antara dirinya dengan para petugas. Suara derap kaki membayang-bayangi di belakangnya. Sesekali ia bisa mendengar perintah yang meminta warga agar tetap tenang dan berlindung di rumah masing-masing.
            “Persetan!” umpatnya sambil terus berlari.
            Lelaki itu membuang ransel di punggungnya. Gerakannya sekarang menjadi lebih lincah. Jangkauan larinya semakin jauh dan dia tak bisa dihentikan.
            Lagi-lagi suara letusan pistol!
            Kali ini kakinya yang jadi sasaran meskipun masih luput dari tembakan. Lelaki itu mengambil gerakan berbelok dan menghilang di balik sebuah gudang kosong. Kawasan ini lebih gelap karena jauh dari cahaya bohlam perumahan penduduk. Di balik gudang tersebut ada sepetak hutan kecil yang menghubungkannya dengan ruas jalan tol. Biasanya anak-anak kampung ini terbiasa mengamati laju mobil yang melintas dari tempat tersebut. Posisinya lebih tinggi dari ruas jalan, membentuk semacam bukit kecil yang terus menurun hingga ke daerah beraspal.
            Tanpa ragu ia menyusuri hutan yang dimaksud. Hanya sekejap saja waktu yang dibutuhkan untuk menuruni bukit dan berada di sisi jalan. Sementara itu para polisi belum juga lelah membuntuti.
Lelaki itu mengawasi jalanan. Otaknya berputar cepat. Ia harus bisa menyeberang jalan agar bisa selamat. Di sisi lain jalan tol ini ada perkampungan yang juga dikenalnya, tempat ia biasa menyembunyikan paket sebelum dipaketkan kembali. Kalau berhasil mencapai tempat tersebut ia pasti akan selamat. Teman-temannya tak akan segan melindungi. Dari sana ia akan menghubungi bos dan menjelaskan situasinya.
            Sebuah mobil melesat dengan kecepatan tinggi, bersamaan dengan kedatangan polisi di puncak bukit.
            “Sekarang, atau tidak sama sekali,” ujar lelaki itu.
            Tanpa berpikir panjang ia berlari menerobos jalan tol. Ia berhasil mencapai pembatas jalan, merasa bangga karenanya, dan kembali bersiap melakukan aksi serupa.
            Tersisa sepuluh meter, ia menerka.
            Laki-laki itu menoleh ke belakang. Para polisi yang mengejarnya tak berkutik. Ia menyeringai penuh kemenangan.
            “Orang-orang bodoh!” umpatnya dengan pongah.
            Lelaki itu mengambil ancang-ancang. Tinggal sedikit lagi jarak yang harus ditempuhnya sebelum bisa benar-benar bebas. Yakin bahwa jalanan kosong, ia pun berlari.
            Ia sudah hampir mencapai tempat tujuan saat sebuah suara memekakkan membuatnya terkejut. Entah dari mana asalnya, suara itu merongrongnya hingga terpaku di tempat. Ada cahaya berpendar lemah yang semakin lama semakin dekat. Tanpa menyadari apa yang terjadi, tubuh lelaki itu sudah terpelanting ke udara. Ia pun tewas seketika.

Saturday, 30 January 2016

Artikel Kehidupan Terorisme 15 Nov 2015

Shock! Mungkin itulah respon kita mengawali berita pembunuhan di Paris, Perancis. Saya mendapatkan berita tersebut pertama kali dari seorang rekan di grup Whatsapp. Dan seketika grup itu menjadi ramai dengan diskusi. Ya! Kasus terorisme kembali terulang. Pembunuhan massal dengan aksi teror memang selalu mencekam kita. Bagaimana tidak. 129 orang tewas. Dan kejaidan ini bisa terjadi dimanapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Kita tidak bisa mendeteksi hal ini. Toh, badan intelegent dunia pun tak mampu mengendus kejadian ini.
Dalam kejadian ini sebagai masyarakat awam, saya mencoba melakukan analisa dan pelajaran yang dapat kita peroleh.
1.      Balas dendam
Di dalam running teks salah satu media berita local Indonesia tertulis bahwa ISIS-lah yang melakukan aksi tersebut dengan alasan bahwa kebijakan Perancis telah membuat banyak orang lain menderita. Tentu ini ada hubungannya dengan kasus di Suriah. Tidak hanya itu. Perancis juga dinilai telah melecehkan seorang nabi dari kelompok Muslim. Kita tidak akan membahas lebih jauh masalah politiknya. Tapi ini jelas. Sebuah kelompok melakukan pembalasan atas apa yang terjadi sebelumnya.
Balas dendam! Kata ini tidak asing di telinga kita. Kisah Paris hanyalah bagian peristiwa besar yang didorong melalui motif yang sehari-hari terjadi disekitar kita. Pembalasan dendam. Semua orang bisa melakukannya. Dari rekan kerja yang dendam kepada bosnya. Menantu yang balas dendam kepada mertuanya. Atau bahkan anak yang balas dendam kepada orang tuanya.
Apakah balas dendam menyelesaikan masalah? Tidak! Balas dendam hanya membuat masalah lebih besar. Dan balas dendam hanyalah berujung kepada kepuasan diri sendiri. Tentu ada tertulis. ‘Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, balaslah kejahatan dengan kebaikan dan berdoalah bagi musuhmu’. Pembalasan adalah hak Tuhan.’
Sakit hati, ketidak adilan, konflik selalu aka nada disekeliling kita. Namun hari ini marilah kita bersama mendoakan orang yang menyakiti hati kita. Saya tahu tidak mudah. Tapi lihatlah bahwa Tuhan tidak perlu ditolong. Dia akan menyingkapkan kebenaran dan memberikan berkatnya bagi mereka yang teraniaya.

2.       Radikalisme
Bagi beberapa orang kata radikal berkonotasi negatif. Para teroris ini mengambil langkah yang radikal. Mereka berani membayar keyakinan merka dengan nyawa mereka sendiri. Mereka mengambil langkah yang radikal. Orang-orang ini terlalu yakin dengan apa yang mereka percaya.
Satu sisi ini bisa berkonotasi negatif. Tapi mari kita lihat sisi lainnya. Orang-orang seperti ini tahu benar bahwa kehidupan yang hanya satu kali ini tidak bisa dijalani dengan kemunafikan. Saya bukan membela tindakan yang yang dilakukan para teroris ini. Tapi coba kita lihat secara utuh.
Seorang filsuf pernah berkata: ‘I do what I think and I think what I believe’ – aku melakukan apa yang kufikirkan dan apa yang kufikirkan adalah apa yang kupercaya.
Manusia hidup didorong dengan motif dari hati. Dari hatilah muncul kehidupan. Orang-orang seperti ini bekerja dan berfikir selaras. Maka kita sebut dengan integritas. Apa yang difikir, diucap dan dilakukan selalu sama.
Berapa banyak dari kita hidup dalam kosmetika kehidupan. Wajah kita begitu cantik dengan topeng yang kita kenakan. Dari luar terlihat baik tapi di dalam sebenarnya sangat buruk. Dari luar terlihat seperti sebuah kuburan yang rapih dengan batu nisan dari keramik mahal, tetapi di dalam isinya adalah tulang belulang dan mayat manusia. Begitu pandai dan manis berbicara, tetapi menikam dari belakang.
Kita setuju. Tindakan terorisme tidak dapat ditoleransi. Tapi lihatlah. Orang-orang ini memilih untuk melepaskan topeng dan hidup seperti apa yang mereka yakini. Bagaimana dengan kita? Apakah kita lebih baik dari mereka? Tunjukkanlah imanmu melalui perbuatan-perbuatanmu, amak aku akan menunjukkan imanku melalui perbuatan-perbuatanku.

3.       Musibah
Kira-kira apakah yang ada di dalam benak para penonton konser di Balactan, Paris malam itu? Adakah mereka tahu atau siap dengan apa yang akan terjadi? Saya yakin tidak sama sekali. Beberapa dari mereka sudah sejak lama menantikan konser dari band metal ini. Bahkan mereka sangat antusias dengan segala persiapan dan kesenangan yang akan mereka nikmati malam itu.
Namun apa yang terjadi. Segala kesenangan itu tiba-tiba berubah dengan musibah. Petaka tak dapat dihindari. Nyawa pun menjadi bayarannya.
Inilah hidup! Bukankah manusia hanyalah bagaikan debu dan rumput yang hari ini ada dan besok tidak ada lagi? Ya! Inilah kehidupan. Dunia ini hanyalah tempat singgah sementara. Hidup manusia demikian rapuh dan sementara. Kejadian ini sebenarnya membuka mata kita untuk sadar bahwa kapanpun kita sudah seharusnya siap. Tidak membuang waktu dan berbagi hidup adalah cara kita untuk mempersiapkan diri kita. Sekali lagi. Tidak hanya terorisme yang mengancam kita. Banyak hal yang mengancam diri kita. Kita tidak tahu kapan kematian menjemput, tetapi kita tahu bahwa kematian akan datang. Jangan menunda. Berbuat sesuatu selama kita hidup adalah cara memaknai kehidupan yang sementara ini. 

Written by: Joy Manik

Saturday, 2 January 2016

Seri Kuliner: Makan Sate Kelinci

Seri Kuliner: Makan Sate Kelinci

Bandung belakangan ini sedang rajin-rajinnya diguyur hujan. Basah seluruh bumi dibuatnya tanpa kecuali. Begitu pula dengan hawanya yang secara drastis berubah menjadi sangat sejuk dan buat sebagian orang dingin. Sore itu saya baru pulang mengajar dari sebuah universitas setelah sebelumnya saya melakukan banyak aktivitas. Rasanya capai sekali dan ingin segera pulang ke rumah. Malangnya perut ini sudah rajin membunyikan belnya untuk segera diisi. Pikir-pikir kalau di rumah kemungkinan besar makanannya paling tinggal tahu atau tempe walaupun itu kesukaan saya tapi saya sedang tidak berselera.

Sunday, 13 December 2015

Obral-obrol : Aloy(sius) VS TOP

Obral-obrol  Aloy(sius) VS  TOP

16/09/2015, 11:36
“Tuh, ‘aloy’!”
“Hahaha.... itu mah beda kebiasaan.”
“Gua sih anak TOP. (smile)”

Telah beberapa hari ini para TOP-ers saling silang dengan Aloy-ers. Penamaan siswa-siswi yang bersekolah di St. Aloysius dipergunjingkan, kalau nggak bisa disebut diperdebatkan. Sebagian bangga dengan atribut sebagai anak TOP, yang lain merasa lebih nyaman sebagai anak Aloysius dan tak keberatan dipanggil anak Aloy.   
16/09/2015, 11:44
“Teman SMP and SD gua , sebagian sebut TOP sebagian Aloy....tergantung lingkungan kayanya.
Teman SD rata-rata BPK, kalau disebut SMAK langsung kepikir SMAK BPK.
Teman SMP rata-rata ke Yahya atau SMAK Dago.....kalau disebut SMAK langsung kepikirnya SMAK Dago.
 Sedangkan gua selalu disebut TOP atau Aloysius.
Anak gua sendiri lebih sering bilang Aloy, soalnya teman-temannya juga sebut Aloy.”

Argumen berbeda sah-sah saja, kan? Dari yang serius sampai yang nyeleneh.

Wednesday, 9 September 2015

Cerpen : Senandung Bisu

Senandung Bisu


Suara itu terdengar lagi!
Petikan dawai gitar yang beriringan dengan senandung halus seorang pria.

         Lagu apa yang kaumainkan hari ini, Teman? Aku menyimak dalam diam, di antara desir air yang mengalir membasahi perabotan kotor, bersamaan dengan gemericik air mancur yang tak pernah diam. Denting kisahmu tidak pernah terdengar sementara irama yang kaumainkan bukanlah konsumsi orang kebanyakan. Apakah semua melodi itu lahir dari kedalaman batinmu? Mengapa begitu romantis sekaligus menitikkan rasa tak senang? Seakan kesedihan menyelimuti setiap nada yang kaumainkan dan putus asa menjadi dinding-dindingnya?