Thursday 24 March 2016

Prolog buku The Resident

Prolog

Cikampek, Jawa Barat

Seorang lelaki muda melesat di antara pemukiman penduduk yang padat. Tubuhnya tinggi besar, tampak menjulang di antara rumah tipe sangat sederhana dan lahan bercocok tanam sempit milik warga. Pekatnya malam tak menghalangi usaha untuk melarikan diri. Tak sekalipun ia tersandung atau jatuh. Jelas sekali bahwa ia mengenal kawasan tersebut – setiap belokan, jalan buntu, maupun celah yang bisa membawanya selamat dari kejaran polisi. 
            Suara letusan pistol melesat ke udara. Tembakan peringatan itu tak digubris. Si lelaki tak memperlambat gerakan, bahkan semakin gesit memperlebar jarak antara dirinya dengan para petugas. Suara derap kaki membayang-bayangi di belakangnya. Sesekali ia bisa mendengar perintah yang meminta warga agar tetap tenang dan berlindung di rumah masing-masing.
            “Persetan!” umpatnya sambil terus berlari.
            Lelaki itu membuang ransel di punggungnya. Gerakannya sekarang menjadi lebih lincah. Jangkauan larinya semakin jauh dan dia tak bisa dihentikan.
            Lagi-lagi suara letusan pistol!
            Kali ini kakinya yang jadi sasaran meskipun masih luput dari tembakan. Lelaki itu mengambil gerakan berbelok dan menghilang di balik sebuah gudang kosong. Kawasan ini lebih gelap karena jauh dari cahaya bohlam perumahan penduduk. Di balik gudang tersebut ada sepetak hutan kecil yang menghubungkannya dengan ruas jalan tol. Biasanya anak-anak kampung ini terbiasa mengamati laju mobil yang melintas dari tempat tersebut. Posisinya lebih tinggi dari ruas jalan, membentuk semacam bukit kecil yang terus menurun hingga ke daerah beraspal.
            Tanpa ragu ia menyusuri hutan yang dimaksud. Hanya sekejap saja waktu yang dibutuhkan untuk menuruni bukit dan berada di sisi jalan. Sementara itu para polisi belum juga lelah membuntuti.
Lelaki itu mengawasi jalanan. Otaknya berputar cepat. Ia harus bisa menyeberang jalan agar bisa selamat. Di sisi lain jalan tol ini ada perkampungan yang juga dikenalnya, tempat ia biasa menyembunyikan paket sebelum dipaketkan kembali. Kalau berhasil mencapai tempat tersebut ia pasti akan selamat. Teman-temannya tak akan segan melindungi. Dari sana ia akan menghubungi bos dan menjelaskan situasinya.
            Sebuah mobil melesat dengan kecepatan tinggi, bersamaan dengan kedatangan polisi di puncak bukit.
            “Sekarang, atau tidak sama sekali,” ujar lelaki itu.
            Tanpa berpikir panjang ia berlari menerobos jalan tol. Ia berhasil mencapai pembatas jalan, merasa bangga karenanya, dan kembali bersiap melakukan aksi serupa.
            Tersisa sepuluh meter, ia menerka.
            Laki-laki itu menoleh ke belakang. Para polisi yang mengejarnya tak berkutik. Ia menyeringai penuh kemenangan.
            “Orang-orang bodoh!” umpatnya dengan pongah.
            Lelaki itu mengambil ancang-ancang. Tinggal sedikit lagi jarak yang harus ditempuhnya sebelum bisa benar-benar bebas. Yakin bahwa jalanan kosong, ia pun berlari.
            Ia sudah hampir mencapai tempat tujuan saat sebuah suara memekakkan membuatnya terkejut. Entah dari mana asalnya, suara itu merongrongnya hingga terpaku di tempat. Ada cahaya berpendar lemah yang semakin lama semakin dekat. Tanpa menyadari apa yang terjadi, tubuh lelaki itu sudah terpelanting ke udara. Ia pun tewas seketika.

1 comment: